Polemik antara tranportasi konvensional dan transportasi online, tidak akan pernah selesai, sebelum Pemerintah Daerah turun tangan. Demikian disampaikan Pakar Transportasi Fakultas Teknik Universitas Jember, Sonya Sulistiyo, kepada sejumlah wartawan.
Menurut Sonya, Pemerintah Pusat sebenarnya sudah menjawab persoalan transportasi daring melalui undang-undang nomor 22 tahun 2009, peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2014 serta peraturan Menteri nomor 108 tahun 2017. Dimana, keberadaan transportasi daring juga menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan atau LLAJ, sebagai bentuk dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hanya dalam implementasinya, lanjut Sonya, juga harus mempertimbangkan nasib usaha transportasi konvensional. Disinilah pentingnya peran dari Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah harus membuat regulasi baik berupa peraturan Daerah, peraturan Gubernur, maupun peraturan Bupatii yang mengatur adanya kesetaraan dalam persaingan usaha transportasi konvensional dan daring.
Salah satu contohnya, ialah pemberlakuan SIM A umum bagi driver transportasi daring seperti halnya angkutan konvensional. Selain itu, juga adanya pemberlakuan kuota, berapa transportasi daring yang boleh beroperasi di suatu daerah. Dengan adanya kesetaraan ini, menurut Sonya, maka akan ada keseimbangan antara transportasi konvesional dan daring, sehingga kedua belah pihak mendapat keadilan yang sama.
Di sisi lain, lanjut Sonya, harus ada perubahan paradigma pada transportasi konvensional. Contoh, digunakannya teknologi argo, untuk kepastian tarif yang harus dibayar konsumen. Sebab selama ini, transportasi konvensional justru menetapkan tarif di luar harga normal, sehingga jangan salahkan masyarakat ketika mereka lebih nyaman menggunakan moda transportasi daring.