Edwin Manangsang, Ronnie Sianturi, dan Yanni Djunaedi menyapa ramah semua jurnalis yang berdatatangan ke Black Cat Arcadia, Plaza Senayan, Jakarta, Rabu [27/1] pukul tiga sore itu. Tak biasanya musisi yang mengadakan konferensi pers menyambut para jurnalis di depan pintu. Biasanya mereka menunggu di ruang artis, untuk dipanggil ke dalam ruangan setelah jurnalis menunggu sejam dari jadwal yang tertera di undangan, atau setelah sesi makan gratis berlangsung kira-kira satu jam. Mungkin Trio Libels sadar bahwa mereka butuh segala macam kegiatan kampanye public relations supaya mendapat respon positif dari media massa soal kembalinya Trio Libels ke industri musik Indonesia. Sebetulnya, sejak tahun 2000-an, Trio Libels sudah punya niat untuk merilis album. Tapi karena mereka merasa tren musik Indonesia di era itu lebih ke band, mereka menahan rilisnya album.
“Sekarang ini, kayaknya lagi jenuh sama band, makanya kami datang kembali,” kata Ronnie.
“Tahun ’90-an kami kan sempat mengisi industri musik, dan sekarang dapat kesempatan lagi untuk kembali, kenapa nggak?” kata Ronnie.
Album terbaru mereka, diberi judul Life is Beautiful. Masih dirilis oleh Musica Studio’s, yang telah menemani karir mereka sejak awal. Salah satu indikator lamanya mereka di industri musik bisa dilihat dari cara Trio Libels memanggil Indrawati Widjaja, Managing Director PT Musica Studio’s yang lebih sering dipanggil Bu Acin oleh para musisi, tapi oleh Trio Libels dipanggil dengan Mbak Acin. “Umurnya cuma beda dua tahun,” kata Edwin sambil tertawa.
Sebelum merilis album, para personel Trio Libels sibuk berkarir sendiri. Yani sempat membuat album solo dengan musik pop, tapi tak terlalu bagus secara penjualan. Dia bahkan sempat membuat album dangdut karena ada tawaran datang, hingga membuat musik untuk sinetron. Tapi ketika akhirnya keinginan untuk kembali tampil sebagai Trio Libels—Edwin mengatakan salah satu alasan kuat karena musik selalu mengalir dalam darah mereka selain tentu saja untuk mengisi pundi-pundi—dan membuat karya baru, tak semudah yang mereka kira. Banyak dari penulis lagu yang mereka hubungi untuk meminta lagu, tak menanggapi permintaan mereka dengan positif. Hingga akhirnya mereka menghubungi Pongki Barata, yang langsung menanggapinya dengan antusias—Pongki mengatakan dirinya penggemar fanatik Trio Libels.
“Saya tahu bener tuh bagaimana mereka berantem di studio saya,” kenang Pongki soal masa-masa rekaman album itu. Tiga lelaki itu sering bercerita pada Pongki. “Ceritanya berbeda, tapi persoalannya sama,” katanya tanpa menerangkan lebih detil lagi. Demi mewujudkan album ini, Pongki mengatakan berbuat semuanya untuk Trio Libels.
Dan sekarang setelah album ini rilis, mungkin salah satu pekerjaan rumah mereka adalah melatih fisik supaya bisa prima bernyanyi lama. Bukan apa-apa, di sesi konferensi pers saja, ketika mereka bernyanyi sambil menari, nafasnya sedikit terengah-engah. “Kami akan milih-milih juga sih, yang mengundang kami manggung, meskipun kejar setoran,” kata Ronnie terkekeh. Dan soal tubuh yang prima, Ronnie mengatakan mereka sudah kerja keras di pusat kebugaran demi merampingkan badan.
“Yang paling utama kenapa kami masih bisa bersama dan merilis album sih, karena masih ada cinta di antara kami,” kata Ronnie.
“Kami mengejar pasar yang sudah ada. Kalaupun ada anak muda yang seneng, itu kami anggap bonus,” kata Edwin.
Sumber : Rollingstone.co.id